Percaya Bukan Pilihan

Posted: Maret 23, 2011 in Argumen
Tag:,

Pada hakikatnya percaya bukanlah suatu pilihan. Anda tak bisa mempercayai sesuatu karena anda memilih untuk mempercayai itu. Percaya itu datang dari dalam diri, bukan dipaksakan atau di-iming-imingi dari luar.

Mari kita berimajinasi dengan sebuah cerita:

Saya percaya bumi itu bulat.

Lalu pemerintah mendeklarasikan bahwa bumi itu kotak! Bagi mereka yang percaya akan dijanjikan tunjangan bulanan puluhan juta rupiah, dan bagi mereka yang tak percaya akan dijebloskan ke kamp konsentrasi. Apakah ini akan membuat saya percaya bumi itu kotak? Tidak! Ini hanya akan membuat saya memilih berpura-pura percaya dengan alasan cari aman. Tapi di lubuk hati saya masih percaya bahwa bumi itu bulat. Yang bisa merubah kepercayaan saya adalah bukti-bukti empiris yang menunjukkan kepercayaan saya salah.

Oke, katakanlah tekanan pemerintah tidaklah cukup kuat untuk merubah kepercayaan saya. Lalu datanglah ajaran agama yang mengklaim bahwa bumi itu kotak. Agama tersebut juga menjanjikan surga berlimpah kenikmatan bagi yang mempercayainya, dan neraka nan pedih bagi yang tidak mempercayainya. Dan tuhan dalam agama tersebut konon maha mengetahui apa saja yang tersembunyi dalam pikiran/hati anda, maka anda tidak bisa lagi berpura-pura percaya. Apa yang akan saya lakukan?

Well, kalau saya memeluk agama absurd tersebut dan benar-benar yakin akan adanya surga dan neraka yang dijanjikannya, maka saya akan berusaha main aman.. saya dengan sekuat tenaga akan berusaha menghapus kepercayaan “bumi bulat” itu, dengan berulang-ulang kali menyatakan pada diri sendiri bahwa bumi itu kotak, dan kepercayaan sebelumnya adalah salah. Meskipun pada kenyataannya keraguan itu akan tetap ada, karena kepercayaan “bumi-bulat” datang dari pemahaman, sedangkan kepercayaan “bumi kotak” datang dengan paksaan. Maka perlu dilakukan “cuci otak” dengan berbagai ritual (makin banyak ritual makin baik) untuk menghapus kepercayaan “bumi bulat” tadi.

Efektifkah cuci otak tersebut untuk merubah kepercayaan? Sejujurnya saya katakan: Ya! Cukup efektif. Namun kepercayaan semacam ini akan rentan terhadap keraguan, terutama terhadap fakta-fakta yang bersifat ilmiah. Tapi bisa saja karena begitu takut akan hukuman tuhannya, saya menolak segala fakta tersebut, betapapun gamblangnya, dengan menyebutnya sebagai propaganda kaum kafir, atau lain sebagainya. Dan sebagai orang yang menutup diri terhadap pemikiran-pemikiran yang berbeda, saya akan sangat reaksioner: saya akan marah jika ada yang mengkritik kepercayaan saya, di sisi lain saya akan mengkritik habis-habisan kepercayaan yang berbeda dengan saya. bagaimana mungkin saya tidak marah terhadap mereka yang mencoba menyesatkan saya? Ini semua demi keselamatan di alam sesudah mati nanti!

Lalu bagaimana reaksi kaum rasional (yang baru percaya akan suatu hal jika sudah terbukti secara ilmiah dan empiris) jika ada yang mengatakan kepercayaan mereka salah? Akan marah dan kalap-kah mereka? Pada umumnya tidak. Orang-orang yang berjiwa kritis semacam ini lebih siap menghadapi kenyataan jika apa yang mereka percayai itu salah. Mereka percaya terhadap sesuatu atas dasar bukti-bukti (terlepas dari apakah mereka suka atau tidak suka terhadap kenyataan yang ditemui), bukan karena memilih begitu saja untuk percaya hal tersebut.

Komentar ditutup.