Makna Musibah

Posted: Juli 3, 2011 in Argumen

Teman: Ampun deh kelakuan cewek-cewek jaman sekarang… kemana-mana pake hotpants… gak heran negara ini banyak kena musibah…

Saya: Maksud lo??

Teman: Ya lo tau kan, pakaian sexy itu mengundang nafsu, sehingga memperbanyak perzinahan, secara gak langsung mengakibatkan banyaknya kasus perceraian, perkosaan dan pembunuhan janin alias aborsi…

Saya: Lantas hubungannya sama musibah di negeri ini apaa??

Teman: Apabila zina sudah merajalela azab Allah akan menimpa!!!

Saya: (muncul keinginan untuk menepuk jidat sendiri) Jadi kalo semua perempuan di negeri ini menutup auratnya, menjauhi perzinahan, atau… ya pokoknya rakyatnya berusaha menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya lah.. apa lo berani jamin musibah gak akan menimpa negeri ini?

Teman: Ngejamin? Wah kalo gue sampe ngejamin itu namanya mendahului takdir Allah, bro! Lu liat aja, yang kena musibah kan gak cuma negara laknat kayak Amerika atau negara bokep kayak Jepang, tapi Aceh, Iran dan pakistan juga pernah terkena musibah besar kan?

Saya: (muncul keinginan untuk menepuk jidat teman saya) Lah terus kalo nurutin perintah Allah masih sial juga apa poin-nyaaa??

Teman: Lo gak pernah belajar agama ya?

Saya: ???

Teman: Lo kan tau kalo orang beriman kena musibah itu namanya COBAAN! Kalo orang bejad dan kafir kena musibah itu namanya HUKUMAN! Dan kalo orang yang setengah-setengah (gak terlalu alim atau bejad) itu namanya TEGURAN!

Saya: …. Jadi kalo gue udah rajin ibadah, dan beramal sholeh, tapi masih sial juga berarti….

Teman: YA! Lo sebut itu sebagai COBAAN!

Saya: Dan kalo Bang Sanip (nama preman kampung yang hobi mabok dan malak) yang kena musibah… itu berarti…

Teman: YA! Kita sebut itu sebagai HUKUMAN! Ngerti kan?

Saya: Oooo… (speechless)

Teman: Sungguh maha adil Allah itu! Cobaan, teguran dan hukuman ada supaya manusia menyadari dosa-dosanya.

Saya: (kembali muncul keinginan untuk menepuk jidat teman saya… kali ini dengan sebatang kayu)
.

Sebenarnya kristen menghina Islam karena menganggap Muhammad bukanlah siapa-siapa (bahkan ada yang menganggapnya nabi palsu, atau bahkan anti-kristus)

Sebenarnya Islam menghina kekristenan, karena menganggap Yesus bukan sebagai juru selamat maupun anak Tuhan, melainkan sebagai salah satu nabi saja.

Sebenarnya Hindu lebih menghina lagi karena menganggap Yesus maupun Muhammad bukanlah siapa-siapa, sebagaimana agama-agama Ibrahim tidak menganggap dewa-dewa mereka sama sekali.

…Dan kalau daftar penghinaan antar ajaran agama ini diteruskan… list-nya bisa sepanjang jalan tol *lebay*

The point is… setiap ajaran agama selalu ada unsur yang menghina/menyalahkan ajaran agama lainnya.

Saya miris ketika mendengar Ahmadiyah dituduh melakukan penodaan terhadap agama, hanya karena mereka yakin adanya nabi baru setelah Muhammad (yang menurut doktrin utama mainstream muslim adalah nabi terakhir). Mereka tidak menolak kenabian Muhammad (sebagaimana agama lain lakukan), apalagi mengkritisinya.

Kenapa saya miris? Karena jika Ahmadiyah yang masih sangat memuliakan ajaran Islam saja dianiaya setengah mati, bagaimana dengan pihak lain yang terang-terangan kritis terhadap Islam, Muhammad dan Al-Quran?

Dan kalaupun benar seseorang itu mengkritik bahkan menghina sebuah agama, LAYAKKAH DIHABISI? Jika anda menjawab YA, dan konsisten terhadap prinsip dari jawaban tersebut, maka anda layak pula membunuh para pemeluk agama berbeda yang ajarannya berlawanan dengan ajaran anda (seperti Islam dengan Kristen dengan Hindu sebagaimana contoh yang saya tulis di atas).

Ada contoh yang lebih konyol lagi, yaitu di awal 90-an, ketika Arswendo Atmowiloto dituduh melakukan penghinaan terhadap nabi Muhammad, ketika ia mengadakan polling di tabloid Monitor mengenai “Tokoh publik yang paling dikagumi”. Jajak pendapat  tersebut menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke-11, jauh di bawah Presiden Soeharto yang menempati peringkat pertama atau Iwan Fals yang menempati posisi ke-4. Sedangkan Arswendo sendiri terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW.

Jika dipandang secara objektif, tabloid Monitor tidak bisa disalahkan jika metode yang digunakan dalam polling dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Monitor hanya berupaya menyajikan hasil polling tersebut secara transparan dan apa adanya. Justru, ini bisa menjadi sarana refleksi untuk memahami realita masyarakat. Tapi apa yang terjadi? Arswendo dipenjara, tabloid tersebut pun dibredel. Sebagian masyarakat muslim marah dan pada 22 Oktober 1990, kantor Monitor didemo dan dirusak massa.

Apakah mereka yang resah dan marah itu tak mau menerima kenyataan bahwa junjungan mereka tidak berada pada urutan satu? Lantas kemudian menuduh orang yang tidak menomorsatukan junjungannya sebagai orang yang melakukan penghinaan terhadap agama? Sulit untuk berkata tidak setelah melihat realita semacam ini.

Wahai kaum beragama (terutama muslim, karena kalian paling gampang tersinggung), sadarlah bahwa Blasphemy is a victimless crime. Kritik dan hujatan terhadap agama haruslah disikapi secara bijak dan dengan kepala dingin, bukan dengan kekerasan. Kalian mungkin akan mendapatkan rasa hormat dengan ancaman, tapi itu adalah rasa hormat yang sangat semu.

Masih ingatkah kalian ketika pada tahun 2010, beberapa kaum muslim garis keras mengancam kartunis Southpark atas penggambaran terhadap nabi Muhammad dengan kostum beruang? Well, ancaman tersebut malah bersifat kontraproduktif: akibatnya sekarang tiap tanggal 20 Mei diadakan hari menggambar Muhammad sedunia (Everybody draw Mohammed Day), sebagai respon penduduk negara-negara bebas, yang tak mau tunduk pada ancaman-anacaman kaum fanatik, dan kehilangan hak mereka atas kebebasan berpendapat (termasuk hak mengkritik agama).

Kali ini mereka sudah muak dengan tuntutan kaum fanatik atas penghormatan. Dan sekarang sudah banyak bermunculan para pengkritik agama yang berani seperti Ali Sina, Ayaan Hirsi Ali, Wafa Sultan, Irshad Manji, Geert Wilders, George Carlin, Christopher Hitchens, dan sebagainya, yang terang-terangan mengkritik agama. Ini menunjukkan bahwa Kehormatan itu tak bisa diperoleh dari ancaman dan paksaan, melainkan dari perilaku dan sikap. Jadi kalian takkan pernah bisa mendapatkan rasa hormat yang sejati dengan memaksa orang menghormati kalian dan mengancam membunuh orang yang tidak menunjukkan rasa hormat. Yang terjadi justru malah sebaliknya: munculnya kebencian dan kejijikan pada objek yang dipaksakan untuk dihormati itu.

yang ada malah jadi bahan tertawaan seperti ini:

Percaya Bukan Pilihan

Posted: Maret 23, 2011 in Argumen
Tag:,

Pada hakikatnya percaya bukanlah suatu pilihan. Anda tak bisa mempercayai sesuatu karena anda memilih untuk mempercayai itu. Percaya itu datang dari dalam diri, bukan dipaksakan atau di-iming-imingi dari luar.

Mari kita berimajinasi dengan sebuah cerita:

Saya percaya bumi itu bulat.

Lalu pemerintah mendeklarasikan bahwa bumi itu kotak! Bagi mereka yang percaya akan dijanjikan tunjangan bulanan puluhan juta rupiah, dan bagi mereka yang tak percaya akan dijebloskan ke kamp konsentrasi. Apakah ini akan membuat saya percaya bumi itu kotak? Tidak! Ini hanya akan membuat saya memilih berpura-pura percaya dengan alasan cari aman. Tapi di lubuk hati saya masih percaya bahwa bumi itu bulat. Yang bisa merubah kepercayaan saya adalah bukti-bukti empiris yang menunjukkan kepercayaan saya salah.

Oke, katakanlah tekanan pemerintah tidaklah cukup kuat untuk merubah kepercayaan saya. Lalu datanglah ajaran agama yang mengklaim bahwa bumi itu kotak. Agama tersebut juga menjanjikan surga berlimpah kenikmatan bagi yang mempercayainya, dan neraka nan pedih bagi yang tidak mempercayainya. Dan tuhan dalam agama tersebut konon maha mengetahui apa saja yang tersembunyi dalam pikiran/hati anda, maka anda tidak bisa lagi berpura-pura percaya. Apa yang akan saya lakukan?

Well, kalau saya memeluk agama absurd tersebut dan benar-benar yakin akan adanya surga dan neraka yang dijanjikannya, maka saya akan berusaha main aman.. saya dengan sekuat tenaga akan berusaha menghapus kepercayaan “bumi bulat” itu, dengan berulang-ulang kali menyatakan pada diri sendiri bahwa bumi itu kotak, dan kepercayaan sebelumnya adalah salah. Meskipun pada kenyataannya keraguan itu akan tetap ada, karena kepercayaan “bumi-bulat” datang dari pemahaman, sedangkan kepercayaan “bumi kotak” datang dengan paksaan. Maka perlu dilakukan “cuci otak” dengan berbagai ritual (makin banyak ritual makin baik) untuk menghapus kepercayaan “bumi bulat” tadi.

Efektifkah cuci otak tersebut untuk merubah kepercayaan? Sejujurnya saya katakan: Ya! Cukup efektif. Namun kepercayaan semacam ini akan rentan terhadap keraguan, terutama terhadap fakta-fakta yang bersifat ilmiah. Tapi bisa saja karena begitu takut akan hukuman tuhannya, saya menolak segala fakta tersebut, betapapun gamblangnya, dengan menyebutnya sebagai propaganda kaum kafir, atau lain sebagainya. Dan sebagai orang yang menutup diri terhadap pemikiran-pemikiran yang berbeda, saya akan sangat reaksioner: saya akan marah jika ada yang mengkritik kepercayaan saya, di sisi lain saya akan mengkritik habis-habisan kepercayaan yang berbeda dengan saya. bagaimana mungkin saya tidak marah terhadap mereka yang mencoba menyesatkan saya? Ini semua demi keselamatan di alam sesudah mati nanti!

Lalu bagaimana reaksi kaum rasional (yang baru percaya akan suatu hal jika sudah terbukti secara ilmiah dan empiris) jika ada yang mengatakan kepercayaan mereka salah? Akan marah dan kalap-kah mereka? Pada umumnya tidak. Orang-orang yang berjiwa kritis semacam ini lebih siap menghadapi kenyataan jika apa yang mereka percayai itu salah. Mereka percaya terhadap sesuatu atas dasar bukti-bukti (terlepas dari apakah mereka suka atau tidak suka terhadap kenyataan yang ditemui), bukan karena memilih begitu saja untuk percaya hal tersebut.

Fungsi Agama

Posted: Maret 23, 2011 in Agama, Tuhan
Tag:

Agama tidak berupaya memberikan jawaban yang tepat, agama hanya membuatmu berhenti bertanya dengan berbagai jawaban yang kelewat sederhana.

Ribuan tahun yang lalu, manusia pra-sejarah merasa ketakutan hidup di alam yang liar dan ganas, dengan ancaman konstan dari binatang buas, serta konflik dengan manusia lainnya. Maka untuk mengatasi ketakutan ini, dan untuk membangkitkan rasa percaya diri mereka, mulailah mereka membayangkan sosok maha pelindung yang akan memproteksi mereka dari berbagai bencana, musibah, dan konflik. Inilah awal mula sebuah konsep bernama Dewa atau Tuhan.

Sosok itu mereka ajak bicara, layaknya anak kecil yang mengajak bicara teman khayalannya. Tidak hanya diajak berkomunikasi, mereka pun mulai mengemis memohon perlindungannya dari segala nasib buruk. Inilah awal mula ritual yang disebut sebagai doa.

Imajinasi akan tuhan ini menawarkan rasa aman dan ketenangan bagi orang-orang yang percaya dan memujanya.

Lebih lanjut lagi, diciptakan pula konsep ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) untuk mengontrol perilaku manusia, yang pada dasarnya bisa berbuat hal-hal yang tak bermoral jika ia yakin tiada hukuman yang menantinya (apalagi di zaman dulu, instrumen penegak hukum tidaklah kuat dan feodalisme serta perang ada di mana-mana dan terjadi setiap saat). Maka dibuatlah konsep hidup sesudah mati (afterlife/akhirat) yang berupa persidangan, surga, maupun neraka, untuk mengganjar si baik dan si jahat.

Kemudian karena janji surga dan ancaman neraka dirasakan tidak cukup efektif dalam mengatur manusia maka dibuatlah seperangkat aturan beserta ritual-ritualnya yang terangkum dalam satu atau lebih buku yang disebut sebagai kitab suci. Inilah awal mula agama.

Dan karena tiap peradaban menghasilkan agama dan dewa/tuhan yang berbeda, maka sering terjadi konflik antar peradaban yang berlandaskan agama, maupun konflik yang berlandaskan kepentingan tapi dilabeli dengan “perang suci”, karena begitu banyak orang rela mati demi membela agamanya (karena dijanjikan kebahagiaan di surga).

Tidak hanya perang dengan kaum eksternal. Dalam internal agama sendiri pun sering diadakan pembasmian terhadap mereka yang dianggap menyimpang (bid’ah/heresy).

Beginilah agama: Membuat kita percaya akan objek-objek yang tidak bisa di-verifikasi eksistensinya (tuhan, surga, neraka, malaikat, dll), memecah-belah umat manusia (perang antar agama, tak boleh menikah antar pemeluk agama berbeda, mengucilkan anggota keluarga yang murtad, dll), dan membuat kita membuang begitu banyak waktu, uang dan tenaga kita untuk hal-hal yang kurang berfaedah (membangun tempat ibadah, perjalanan ibadah yang mahal, ritual-ritual yang rumit, dll). Masih perlukah manusia modern zaman sekarang untuk memeluknya?


Melihat berita tentang pembantaian kaum Ahmadiyah di Desa Cikeusik, saya nggak ngerti musti komentar apalagi. Salah satu hal yang paling saya sesali adalah memilih SBY pada pemilu 2004 dan 2009, karena sejarah kebebasan beragama di Indonesia tampaknya paling buruk dalam masa pemerintahan beliau. Kaum-kaum garis keras macam FPI dibiarkan dan seolah dipelihara oleh negara. Sementara kaum Ahmadiyah yang sejak republik ini berdiri (bahkan pencipta lagu Indonesia Raya, WR. Supratman, adalah seorah Ahmadiyah) tak pernah bermasalah malah dianggap meresahkan.

Video Pembantaian Ahmadiyah di Cikeusik

Lihatlah video di atas, membantai dengan meneriakkan nama Tuhan yang (katanya) maha pengasih lagi maha penyayang. Dan lucunya, ada sebuah berita yang mengabarkan pendapat Menkominfo kita, mister Tifatul Sembiring, dimana beliau berkata:

“Kita sedang lacak siapa penyebar video tersebut karena telah melanggar undang-undang IT nomor 11 tahun 2008, dan menghimbau pengguna internet untuk tidak lagi menyebarkan video tersebut”

Benar-benar lucu. Dalam masalah kasus video mesum Ariel cs, para PELAKU lebih ditekankan, bukan ke penyebar (bahkan vonis untuk pelaku lebih berat dari penyebar). Sementara untuk video pembantaian ini malah si PENYEBAR yang lebih ditekankan? Luar biasa jenius logika di negeri ini.

Kenapa Ahmadiyah dianggap meresahkan? Ada yang beropini Ahmadiyah tidak melakukan kekerasan fisik tapi melakukan “kekerasan” atau “terorisme” terhadap “akidah” dan “pemikiran” umat Islam. WTF??? Kalau memang Ahmadiyah dianggap melakukan Ghazwul Fikri (perang pemikiran) ya harus dilawan dengan pemikiran dong! Bukan dengan cara barbar seperti adu kekuatan fisik! Kalau seandainya pemikiran mereka yang lebih diterima masyarakat, dan ada dari kaum kalian yang “murtad” dan masuk ajaran mereka, ya HARUS legowo dong! Kalau pun gak terima, ya lawan terus propaganda mereka, tapi dengan cara yang beradab! Pemikiran dilawan dengan pemikiran! Dan (ini yang terpenting) pikiran anda harus terbuka terhadap kemungkinan bahwa apa yang anda yakini selama ini bisa saja salah! Bisakah anda melakukan itu?